Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sangat erat
hubungannya dengan kebudayaan. Kebudayaan itu sendiri adalah sesuatu yang akan
memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa
perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku,
bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
Indonesia merupakan negara
yang kaya akan budayanya. Disetiap daerah mempunyai kebudayaannya
masing-masing. Seperti “Reog”, salah satu kebudayaan Indonesia yang sangat
terkenal dan berasal dari Jawa Timur. Ada beberapa versi tentang sejarah
munculnya kesenian Reog ini. Namun, dalam artikel ini saya hanya akan membahas
tentang sisi lain ‘Warok’ yang merupakan salah satu tokoh yang ada dalam
kesenian Reog tersebut.
Warok yang berasal dari
kata wewarah adalah orang yang mempunya tekad suci, memberikan tuntunan dan
perlindungan tanpa pamrih. Warok adalah wong kang sugih wewarah (orang yang kaya
akan wewarah). Artinya, seseorang mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada
orang lain tentang hidup yang baik. Warok iku wong kang wus purna saka
sakabehing laku, lan wus menep ing rasa (warok adalah orang yang sudah sempurna
dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin).
Warok merupakan
karakter/ciri khas dan jiwa masyarakat Ponorogo yang telah mendarah daging sejak
dulu yang diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi penerus. Warok merupakan
bagian peraga dari kesenian Reog yang tidak terpisahkan dengan peraga yang lain
dalam unit kesenian Reog Ponorogo. Warok adalah seseorang yang betul-betul
menguasai ilmu lahir maupun batin.
Di dalam kebesaran tradisi
warok Ponorogo ternyata menyisakan sisi gelap, berupa penyimpangan seksual yang
lebur di dalam fenomena gemblak. Penyimpangan seksual itu didapati memiliki
landasan kokoh yang mengalir melalui ideology kanuragan yang melekat dalam
kehidupan warok. Ideologi kanuragan itu mengajarkan bahwa seorang warok harus
menjauhi berhubungan dengan perempuan (sekalipun isterinya sendiri) agar ilmu
kekebalan bisa dikuasai dengan sempurna. Karenanya, hadirlah sosok gemblak
(seorang lelaki belia berusia 10 sampai 17 tahun) sebagai pengganti peran dan
fungsi perempuan (isteri) tersebut.
Gemblak
dalam tradisi warok Ponorogo merupakan tuntutan dari ideology kanuragan.
Kehadirannya dibutuhkan sebagai kompensasi hilangnya peran dan fungsi isteri
mereka disebabkan tuntutan ideology kanuragan itu. Disinilah sisi gelap
kehidupan warok muncul, terutama terkait dengan penyimpangan seksual (homo
seksual) dimana pada gilirannya melahirkan citra buruk tradisi warok Ponorogo.
Citra buruk atau sisi gelap kehidupan warok yang santer terdengar di
masyarakat, ternyata tidak sepenuhnya benar, karena di dalam tradisi itu ada
kelompok warok yang memiliki gemblak (sebatas teman dan pelayan kebutuhan
ritual saat nglakoni) dan ada juga kelompok panggemblak (bukan warok tetapi
memiliki gemblak, untuk memenuhi hasrat seksual atau pemuas nafsu). Terlepas
dari tradisi gemblak maupun panggemblak, tradisi warok ini telah mengakibatkan
peran dan fungsi isteri terpinggirkan. Marginalisasi perempuan dalam bentuk
konco wingking (sebatas mengurus rumah tangga) dan urmat garwa (menghormati
apapun yang dilakukan suami).
Seorang
warok sampai bersumpah tidak mau berhubungan badan dengan isterinya sendiri,
dan hanya berasyik masuk atau bersedap-sedap dengan para gemblak yang
dipiaranya. Gemblak umumnya diangkat dari keluarga-keluarga miskin di pedesaan
Ponorogo. Para gemblak sapatutya memiliki raut muka, perawakan dan kulit yang
bagus.
Orangtua calon gemblak tak kuasa menolak orang yang
dianggap kaya wewarah (petunjuk) hidup bagi anaknya. Sebidang tanah akan
menjadi jaminan bagi orang tua calon gemblak, atau dua ekor sapi dewasa, untuk
mengikat si gemblak selama tiga tahun.
Setelah diboyong ke rumah warok, si gemblak diajari
tata cara hidup yang bermartabat. Mulai dari cara berpakaian, makan, memakai
wewangian, merokok dan bertutur kata yang penuh sopan santun. Gemblak yang
tampan pasti menaikkan gengsi sang warok. Karena itu gemblak sering dibawa ke
mana pun sang warok pergi, menjadi semacam sekpri (sekretaris pribadi) yang
bening.
Manakala malam tiba, sang warok membiarkan isterinya
tidur di kamar belakang. Ia memanjakan gemblak atau para gemblak. Tapi itulah pengakuan para warok. Sedangkan gemblaknya
tak kuasa menjerit, mengingat dirinya telah tergadai demi sebidang sawah atau
dua ekor lembu. Cerita warok dan gemblak ini tercermin dalam kesenian Singo
Barong yang merupakan sindirian terhadap raja Brawijaya V dari Majapahit yang
takut dengan isterinya. Singa melambangkan raja yang berkuasa tapi dimahkotai
oleh burung merak sebagai lambang kekuasaan isterinya.
Kesenian ini kemudian namanya diubah menjadi Reog,
yang diambil dari kata Arab riyoqun. Artinya, meskipun hidup seorang warok
bergelimang dosa, tapi bila bisa kembali ke jalan Allah, sorga jaminannya.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar