Sabtu, 09 Mei 2015

ADILKAH KITA?

Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut John Rawls, fi lsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa “Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran”.

Pada intinya, keadilan adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya. Adil pada hakikatnya bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Keadilan berarti tidak berat sebelah, menempatkan sesuatu di tengah-tengah, tidak memihak. Keadilan juga diartikan sebagai suatu keadaan dimana setiap orang baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memperoleh apa yang menjadi haknya, sehingga dapat melaksanakan kewajibannya.


Keadilan memberikan kebenaran, ketegasan dan suatu jalan tengah dari berbagai persoalan juga tidak memihak kepada siapapun. Dan bagi yang berbuat adil merupakan orang yang bijaksana.  

Bila dihubungkan dengan kemanusiaan keadilan merupakan sesuatu hal yang menjadi hak asasi manusia, seseorang butuh keadilan dalam hidupnya namun seseorang juga harus adil dalam memberi sesuatu atau melakukan sesuatu sesuai dengan hak dan kewajiban-Nya seperti bunyi pada sila ke-5 pancasila yaitu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Namun, kenyataan yang kita hadapi sekarang dengan hukum yang berjalan di Indonesia mungkin tidak seperti bunyi sile ke-5 Pancasila. Banyak orang mengistilahkannya dengan "Hukum yang runcing ke bawah". Mungkin maksud dari kata-kata itu bisa dijelaskan melalui kisah seorang anak yang dituduh mencuri sendal jepit milik seorang anggota brimob dan seorang nenek yang dituduh mencuri coklat serta jika dibandingkan dengan seorang koruptor.

Sosiolog dari Universitas Indonesia Imam Prasodjo kepada Kompas.com, Kamis (5/1/2012) di Jakarta mengatakan, hukuman yang diberikan kepada Nenek Minah dan AAL itu menggambarkan bahwa proses hukum yang mati dari tujuan hukum itu sendiri. Hukum, kata dia, hanya mengikuti aturan formal, tidak memperhitungkan subtansi dan hati nurani.

"Ancaman lima tahun dan vonis 1,5 tahun itu, bukan masalah Jaksa, Polisi, atau Hakim saja. Tapi mereka semua telah melakukan kesesatan kolektif. Meskipun banyak protes dari masyarakat, mereka masih juga memproses dan memutuskan sesuatu secara tidak sedikitpun ada kesadaran dan evaluasi," kata Imam.

Sosiolog Soetandyo Wignjosoebroto pun mengatakan hal serupa. Hakim kini dinilainya terlalu legalistik terhadap putusan bersalah rakyat kecil. Hakim tidak mampu memahami arti dan makna sekaligus kearifan yang terkandung dalam aturan hukum.

"Undang-undang itu dead letter law (hukum yang mati). Hukum menjadi aktif dan dinamik melalui kata hati dan tafsir hakim. Kalau putusannya itu aneh, itu bukan salah undang-undang, melainkan hakim. Hakimnya harus pandai memberi putusan yang bisa diterima," kata Soetandyo.

Meskipun, seyogyanya mencuri atau mengambil barang orang lain sekecil apa pun tanpa izin adalah perbuatan melanggar hukum. Dan hukum harus ditegakkan. Namun, apakah hal itu sudah sesuai rasa keadilan di masyarakat?

Lihat saja bagaimana para pejabat dan koruptor berdasi putih mencuri uang rakyat yang nilainya sebanding dengan jutaan sandal jepit dan kakao itu diperlakukan dengan terhormat oleh aparat. Mereka dapat melanggeng bebas dari hukuman yang tidak terlalu berat. Mereka pun dapat mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang kadang dibuat-buat.

Data Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukan koruptor rata-rata hanya dihukum di bawah dua tahun. Pada 2010, sebanyak 269 kasus atau 60,68 persen hanya dijatuhi hukuman antara 1 dan 2 tahun. Sedangkan, 87 kasus divonis 3-5 tahun, 13 kasus atau 2,94 persen divonis 6-10 tahun. Adapun yang dihukum lebih dari 10 tahun hanya dua kasus atau 0,45 persen.

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqqodas pada pertengahan November tahun lalu, mengakui bahwa hukuman untuk koruptor memang rendah. Pengadilan, kata Busyro, seakan-akan tak mencerminkan ideologi hukum yang baik. "Putusan hakim kehilangan roh untuk berpihak pada kepentingan rakyat," kata Busyro.

Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan kini hukum hanya tajam jika kebawah dan tumpul jika berhadapan dengan kalangan atas. Pemerintah, menurut Hikmahanto, seharusnya peka terhadap rasa ketidakadilan yang terus dialami rakyat.

"Saya prihatin. Hakim terlalu legalistik jika pihak yang lemah menjadi terdakwa. Untuk kasus korupsi, hakim justru tak menggunakan kacamata kuda, tetapi seolah-olah memahami tuduhan korupsi tak terbukti dengan melihat konteks," kata Himkmahanto di Jakarta

Dilihat dari kisah di atas, dimana hukum di Indonesia masih 'runcing ke bawah', maka sudah adilkah kita?


Keadilan sejatinya hanyalah milik Allah SWT, namun kita sebagai manusia hanya bisa berusaha agar menjadi manusia yang adil dan mengurangi ketidakadilan yang ada. Keadilan dapat menciptakan hati dan keadaan sosial yang tenang sedangkann ketidakadilan akan membuat kegelisahan.

 

Refrensi:
http://nasional.kompas.com/read/2012/01/06/09445281/Kejamnya.Keadilan.Sandal.Jepit.

http://ferialadrian.blogspot.com/2013/04/tugas-ilmu-budaya-dasar-manusia-keadila\n.html#pages/2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAHASA INGGRIS BISNIS 2

TUGAS 3 LISTENING TEST 1. D                   11. C               21. A 2. A                   12. C               22. C 3. D          ...